Senin, 25 Februari 2013

Beberapa Konsep Dasar Ekonomi Makro dan Politik Pertumbuhan Ekonomi.

Oleh:M. Kholis hamdy

Economy growth must look to the common good and an economy based on ethical foundations must be preoccupied with the raising the well being of all sectors of society.”[1]

Pendahuluan
Ekonomi sebagai praktik keseharian jauh telah ada sebelum ia menjadi sebuah disiplin ilmu. Kegiatan ekonomi manusia sudah berlangsung berabad-abad sebagai upaya kemakmuran oleh manusia. Dalam upaya menyejahterakan diri mereka, manusia secara kontinyu berusaha memenuhi kebutuhannya yang tidak terbatas. Ketidakseimbangan terjadi ketika alat kebutuhan untuk memuaskan keinginan manusia tidak dapat disuplai secara maksimal karena sifat keterbatasannya. Di sinilah yang menjadi titik tekan masalah ekonomi.



Terlepas polemik asal usul ekonomi sebagai sebuah disiplin ilmu baik dari belenggu ideologi keagamaan maupun non keagamaan, pada kenyataannya ilmu ekonomi eksis dan berkembang pesat dalam ranah keilmuan manusia. Perkembangannya tidak terlepas dari buah pemikiran para penggiat ilmu ekonomi, pelaku ekonomi dan peran kuasa pemerintah di dalamnya.

Dinamika keilmuan ekonomi sangatlah luas dan membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk mempelajari dan memahaminya, terlebih bagi penulis yang notebene bukan penggiat ilmu ini. Tulisan ini sangat rentan terhadap kritik dan merupakan usaha terbatas untuk mematuhi konsensus pemangku kesepakatan kelompok kajian ekonomi. Disorientasi tulisan terhadap tema sandaran; Perspektif Ilmu Ekonomi, sebagai output pun akan nampak dari faktor produksi yang sangat minim; waktu, modal dan tempat (tanah). Kecenderungan isi tulisan pun bukan cerminan dari sebuah kecondongan penulis terhadap pendekatan tertentu, lebih pada faktor praksis saja.

Ekonomi Makro
Pada umumnya ilmu ekonomi dibagi pada 2 ranah keilmuan; ekonomi makro dan ekonomi mikro. Ekonomi makro mempelajari penggunaan sumber daya atau faktor produksi yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas secara agregat. Sedangkan ekonomi mikro fokus terhadap penggunaan sumber daya atau faktor produksi yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas atas dasar kebutuhan individu.

Perilaku dalam ekonomi ini difungsikan untuk memenuhi faktor produksi yang ada. Perbedaan di antara keduanya terletak pada siapa economic agent yang memutuskan dan mengarahkan perilaku ekonomi tersebut. Ekonomi makro berkaitan erat dengan kinerja ekonomi suatu Negara dalam hal ini pemerintah. Sedangkan ekonomi mikro keputusan dibuat oleh individu. Yang dimaksud dengan individu di sini dapat berupa pasar, perusahaan dan rumah tangga.[2]

Ada tiga ukuran dalam penilaian keberhasilan suatu Negara dalam mengelola ekonominya secara makro: keluaran, pengangguran dan stabilitas harga. Keluaran atau output berkaitan dengan produksi oleh Negara dalam kurun waktu tertentu, misalnya satu tahun. Nominal vs riil, nilai vs pertumbuhan,[3] pertumbuhan vs pemerataan dan PDB aktual vs PDB potensial merupakan beberapa ukuran output nasional dari suatu negara dan sering dalam berupa Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Bruto (GDP) yang notabene adalah nilai dari semua produk akhir, baik barang dan jasa yang diukur dalam mata uang.[4]

Sekadar contoh, total nilai keluaran yang diukur dengan nilai uang pada saat itu disebut dengan PDB nominal, sedangkan PDB riil diukur dengan nilai mata uang konstan. Hal terakhir  terkait dengan patokan nilai rupiah (sebagai contoh) di tanggal yang terlebih dahulu telah ditentukan. Fungsi penggunan mata uang konstan bertujuan untuk melihat perubahan PDB dari waktu ke waktu yang terjadi secara riil. Selisih jumlah nilai antara keduanya berfungsi untuk mengetahui perbedaan aktifitas ekonomi secara riil dan efek inflasi atau kenaikan harga.[5]

Pembahasan kedua PDB di atas merujuk pada pengertian nilai mata uang, Untuk mengetahui perkembangan PDB dari waktu ke waktu dikenallah istilah pertumbuhan PDB yang dihitung dengan rumus PDB riil di tahun kedua dikurangi PDB riil tahun sebelumnya serta dikali 100% lalu dibagi PDB riil tahun sebelumnya, maka akan terlihat hasil pertumbuhan PDB sebuah Negara. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat tidak berarti itu bagus bagi suatu Negara apabila hanya segelintir orang saja yang menikmatinya. Oleh karena itu, pemerataan menjadi faktor penting dengan mengukur berapa porsi PDB yang dinikmati 20% penduduk termiskin suatu negara dan berapa porsi PDB yang dinikmati oleh 20% penduduk terkaya. Apabila kedua angka sama, itu menunjukkan adanya pemerataan ekonomi dalam suatu negara.[6]

Pemerataan biasanya dikaitkan pada dua hal, yaitu: pendapatan dan asset atau kekayaan. Konsep ideal pemerataan apabila seorang individu memiliki pendapatan dan kekayaan yang sama dengan individu lain. Di Inggris dan Amerika, pemerataan pendapatan jauh lebih baik dibandingkan dengan pemerataan kekayaan. Sedangkan di Negara berkembang cenderung pada kondisi yang sama, pendapatan dan kekayaan tidak merata. Hubungan keduanya di Negara berkembang sangat erat. Individu yang semakin tinggi tingkat kekayaannya cenderung semakin tinggi pula pendapatannya. Walhasil, kebijakan keduanya sama-sama penting.[7]

PDB aktual merupakan hasil konkret penghasilan suatu Negara. Meskipun dengan jumlah tertera di atas kertas tidak berarti telah menunjukkan PDB secara maksimal yang dapat dihasilkan oleh suatu Negara. Hasil maksimum inilah yang disebut dengan PDB potensial, merupakan tingkat keluaran maksimum yang dapat dihasilkan secara berkelanjutan dan sangat tergantung pada faktor produksi yang efisien dan teknologi yang produktif. Ukuran penggunaan yang sederhana adalah dengan memperhatikan tingkat penggunaan buruh atau tingkat pengangguran. Bila tidak ada pengangguran, maka tidak ada penambahan waktu kerja, berkonsekuensi pula pada tidak ada peningkatan PDB. Ukuran adanya pengangguran sebesar 5% dari total populasi Negara sudah dianggap tidak ada pengangguran (full employment). [8]

Tingkat pengangguran menjadi ukuran kedua ekonomi, tinggi rendah angkanya mencerminkan sukses atau kegagalan dalam pembangunan dan tingginya pengangguran menyebabkan keluaran ekonomi tidak mencapai tingkat maksimum atau tingkat potensial. Tidak adanya sumber pendapatan (income) untuk kehidupan akan berdampak pada munculnya  permasalahan psikologis dan sosial. Ukruan selanjutnya dari keberhasilan ekonomi makro adalah stabilitas harga. Argumen bahwa ekonomi yang baik apabila tidak ada kenaikan harga, atau inflasi sama dengan nol. Hal ini tidak sepenuhnya benar, terkadang dalam kasus tertentu mendorong perkembangan ekonomi seperti infalsi sebesar 3% yang pernah dialami bangsa Indonesia  dan belum pernah terjadi semenjak kemerdekaan. Inflasi rendah secara umum masih bisa diterima Di satu sisi, meningkatnya harga akan menggenjot perusahaan atas produksi yang menghasilkan keuntungan bagi perusahaan karena peningkatan biaya produksi tidak secepat kenaikan harga, bertambahnya harga produk juga akan memberikan keuntungan bagi perusahaan. Di sisi lain, inflasi rendah menyebabkan daya beli masyarakat juga menurun walaupun tidak signifikan.[9]

Politik Pertumbuhan Ekonomi
Istilah politik pertumbuhan ekonomi memang bukan hal sering kita dengar atau kita lihat di Indonesia, padahal terma ini menjadi sangat penting dalam dunia akademisi dan praktisi ekonomi di luar negeri. Jika anda mencari di “mbah” google, hanya kalimat pertumbuhan ekonomi dan ekonomi politik yang menghiasi layar monitor komputer atau laptop anda. Meskipun ada satu dua tentang teori pertumbuhan, namun unsur politik hanya menjadi sisipan struktur pembahasannya. Apakah ini petanda dari sebuah skema penjajahan diskursus ekonomi di Indonesia, masih perlu penelitian untuk pertanyaan tersebut. Mungkin juga, karena keterbatasan penulis, memang ada karya yang mengupas habis pertarungan ideologi dalam dunia perekonomian di Indonesia. Walhasil, banyak penelitian dan tulisan yang kita bisa akses di Internet soal politik pertumbuhan ekonomi di pelbagai Negara, mulai dari studi politik pertumbuhan ekonomi di era the great depression tahun 1929,  masa kebangkitannya di Amerika dan paska perang dunia ke-2, hingga tulisan kontemporer mengenai pertumbuhan ekonomi drastis di India dan China.

Awalnya, ekonomi politik merupakan studi tentang kondisi di mana produksi atau konsumsi yang dalam parameter terbatas dan diselenggarakan oleh bangsa dan negara. Dengan hal ini, ekonomi politik memperluas penekanan makna kata ekonomi, yang berasal dari bahasa Yunani oikos berarti "rumah" dan nomos; "hukum" atau "order"; sehingga ekonomi politik dimaksudkan untuk mengungkapkan hukum-hukum produksi kekayaan di tingkat negara bagian. Kata politique économie (diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai political economy) pertama kali muncul di Perancis pada tahun 1615 dalam buku terkenal karangan Antoine de Montchrétien: Traité politique de l'Economie. Physiokrat Perancis, Adam Smith, David Ricardo dan filsuf Jerman Karl Marx adalah beberapa eksponen ekonomi politik. Pada 1805, Thomas Malthus menjadi profesor pertama Inggris di bidang ekonomi politik di East India Company College, Haileybury, Hertfordshire. Pada tahun 1763, Guru besar pertama di dunia dalam ekonomi politik diberikan di Universitas Wina, Austria kepada Joseph von Sonnenfels sekaligus dinpbatkan sebagai profesor tetap pertama.[10]

Ekonomi politik merupakan istilah untuk mempelajari produksi, membeli dan menjual, dan hubungannya dengan hukum, adat, dan pemerintah, serta distribusi pendapatan nasional dan kekayaan, termasuk melalui proses anggaran. Politik perekonomian berasal dari filsafat moral. Yang berkembang di abad ke-18 sebagai studi tentang ekonomi Negara dan kebijakan, makanya disebut ekonomi politik.  Pada akhir abad kesembilan belas, istilah 'ekonomi' datang untuk menggantikan 'ekonomi politik', bertepatan dengan publikasi dari sebuah buku berpengaruh berjudul Principles of Economy  oleh Alfred Marshall pada tahun 1890. William Stanley Jevons, seorang penganjur metode matematika diterapkan pada ekonomi, menganjurkan kata 'ekonomi' sebagai ringkasan dengan harapan istilah tersebut menjadi "terma yang diakui sebagai ilmu pengetahuan," di dalam bukunya “The Theory of Political Economy.”[11]

Pendekatan kontemporer memandang ekonomi politik pada studi interdisipliner pada ekonomi, hukum, dan ilmu politik dalam menjelaskan bagaimana lembaga-lembaga politik, lingkungan politik, dan sistem-kapitalis ekonomi, sosialis, dicampur-mempengaruhi satu sama lain. Topik tradisionalnya meliputi pengaruh pemilu pada pilihan kebijakan ekonomi, penentu hasil pemilu, siklus bisnis politik, independensi bank sentral, konflik redistributif dalam kebijakan fiskal, dan politik reformasi tertunda di negara berkembang dan defisit berlebihan. Dari tahun 1990-an, dieksplorasi studi diperluas seperti pada asal-usul dan laju perubahan lembaga-lembaga politik, dan peran budaya dalam menjelaskan capaian ekonomi dan pertumbuhan. Secara lebih sempit ditafsirkan sebagai analisis kebijakan publik seperti monopoli, perlindungan pasar dan korupsi kelembagaan.[12]

Di dalam bukunya, The Politics of Economic Growth, in Postwar America, Robert M. Collins menjelaskan bagaimana pertumbuhan ekonomi menjadi pusat dan faktor penentu kebijakan publik pemerintah Amerika setengah abad paska perang dunia ke-2. Di era The Great Depression di Amerika, ada tiga kekuatan yang bertarung untuk penentuan arah pertumbuhan ekonomi amerika serikat: 1. Kelompok agraria dari selatan yang mengadakan symposium bertemakan “I’ll Take My Stand: The South and the Agrarian Tradition” dan membahas pertumbuhan, industrialism dan materialism, lalu menolak kepercayaan terhadap dengan mesin besar akan menghasilkan penghasilan yang besar pula. Mereka ini dikategorikan sebagai kelompok konservatip dan dikenal sebagai gerilyawan agrarian dan menganggap konsep growth dan moreness adalah ide gila. Mereka berpegang teguh pada prinsip “tidak akan pernah mengakui bahwa tugas manusia hanya untuk meningkatkan produksi materi saja dan bahwa tingkat derajat kebudayaan diukur dengan volume produksi materi,” namun,pada akirnya mereka tersingkir.[13]

Kelompok kedua terdapat pada gerakan teknokrasi berasal dari tumbuh dari ide-ide Howard Scott, seorang insinyur eksentrik dari Greenwich Village. Scott pernah bertugas untuk sementara waktu sebagai konsultan untuk Radical International Worker  di bawah naungan Serikat Pekerja Dunia. Dia percaya bahwa sistem artifisial kapitalisme telah menciptakan ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi, akibatnya, kemajuan teknologi dan peningkatan produksi hanya menghasilkan pengangguran dan hutang saja. Mereka beranggapan bahwa untuk menggantikan sistem harga lama dengan yang baru berdasarkan energi, daripada emas. Meskipun sempat mendapatkan sorotan dari politisi, pelaku bisnis dan gangster, bahkan sempat diangankan sebagai “langkah pertama revolusi filsafat di Amerika.” Kehadirannya yang cepat seiring dengan lenyapnya.[14]

Kelompok ketiga adalah Mississippi Industrial Commission yang mengenalkan program “Balance Agriculture with Industry” yang bererwenang penggunaan obligasi daerah untuk membangun pabrik bagi perusahaan yang berkomitmen untuk tenaga kerja lokal dan memberikan jaminan gaji. The Mississipi Program perlahan-lahan menampakkan hasil dan walaupun kemudian menghasilkan upah rendah, pekerjaan non-union di tekstil padat karya dan pakaian,gagasan itu menyebar ke negara tetangga dan kemudian, setelah perang, mendapat tempat di hati Negara-Negara bagian selatan sebagai negara terpaksa ke pelbagai peningkatan subsidi public untuk mendapatkan perkembangan yang signifikan.[15]

Dinamika politik pertumbuhan ekonomi terekam dengan jelas dalam studi ini, meskipun dengan digelontorkannya kebijakan New Deal of Economics yang berkesan “hati-hati,” aspek pertumbuhan tetap menjadi orientasi sebagai bagian integral sistem kapitalis yang dianut Amerika Serikat. Pelbagai kebijakan moneter diberlakukan untuk secara marathon dan pertumbuhan ekonomi digenjot dengan berdirinya beberapa lembaga, baik keuangan maupun institusi bisnis sehingga dalam kurun waktu satu tahun saja tingkat pertumbuhan ekonomi di tahun 1930 sudah hampir sama dengan tahun 1929, di saat depresi ekonomi mulai.
Di satu sisi, kebijakan ekonomi memberikan harapan bagi perkembangan perekonomian Amerika. Akan tetapi, di sisi lain, banyak suara pesimistik menghiasi kehidupan rakyat Amerika pada umumnya. Hal ini bisa terekam dari ucapan para tokoh dari dua sudut pandang terhadap masa depan ekonomi Amerika; Herbert Hoover dan Franklin D. Roosevelt. Herbert menyatakan “saya tidak takut akan masa depan negeri ini, negeri yang cerah dengan harapan-harapan,” sedangkan Franklin berujar “bagi saya kemungkinan bangunan fisik ekonomi tidak akan berekspansi sehebat masa lalu, kita bisa saja membangun lebih banyak pabrik, tapi faktanya kita mempunyai lebih dari cukup dari kebutuhan domestik.”[16]

New Deal of Economy berorientasi pada pemulihan, keseimbangan dan ketahanan ekonomi dan berkarakter stagnan dan ekonomi berkekurangan. Ketika pendekatan rem laju ekonomi sudah berjalan dan kondisi ekonomi mulai sedikit stabil, muncullah doronga-dorongan untuk merubah arah kegiatan ekonomi yang lebih liberal. Ini dilakukan oleh partai republic yang menganggap kebijakan Franklin yang notabene dari partai democrat tidak lebih hanya sekedar public investment bukan karakter Negara kapitalis. Program-program seperti National Recovery Administration (NRA), Agriculture Adjustment Administration (AAA), Reconstruction Finance Cooperation (RFC) mulai mendapat kritik tajam dari lawan politik Franklin. Malah ia menambah investasi publik di pengembangan tanaga listrik, maka muncullah perusahaan seperti Tennessee Valley Authority (TVA) dan Rural Electrification Administration guna menyokong usaha ekonomi ke wilayah selatan.[17]

Pada tahun 1938, muncul partai baru yang didirikan berdasarkan filosofi pertambahan produksi oleh Phil La Follette, seorang gubernur Wisconsin. Lambang X di bendera partainya merepresentasikan multiplikasi kekayaan bukannya pengurangan.[18] Kegelisahan para expansionist bertambah ketika Franklin memutuskan komitmennya kepada kebijakan 1 per 3 rakyatnya yang serba kekurangan; sandang, pangan dan papan meskipun akhirnya ditolak oleh kongres. Kebijakan-kebijakan dan identitias a la state cartelism dan state capitalism inilah yang oleh penulis sendiri sebut sangat ambigu. Di Penghujung akhir 1930an hingga meletusnya perang dunia ke-2, ekonomi Amerika kembali berorientasi ekspansi dan kapitalistik dan kebijakan New Deal dianggap sebagai dasar ekspansi ekonomi Amerika di era perang dunia ke-2.

Penutup
Ada beberapa catatan pribadi penulis dapat dari usaha penulisan, pemahaman dan refleksi:
1.      Pengelolalaan ekonomi makro yang baik suatu Negara sangatlah penting terlepas dari orientasi ideologis ekonomi dan dampak tertentu dari perspektif ekonomi tertentu.
2.      Sejarah mencatat corak ekonomi Indonesia yang dinamis merupakan bukti bahwa peran politik sangat berpengaruh dalam menentukan arah perekonomian Negara.
3.      Peran akademisi ekonomi sangatlah kurang dalam membahas secara mendalam studi politik pertumbuhan ekonomi di Indonesia, terlepas dari indikasi adanya setting bangunan keilmuan ekonomi di Indonesia.
4.      Untuk Negara sekapitalis Amerika pun mampu dan berani “menyeleweng” dari dogma ekonomi mereka ketika sebuah situasi darurat memaksa Negara intervensi hingga jauh ke dalam urusan ekonomi bahkan hingga sekarangpun Amerika masih melakukan beberapa proteksi terhadap produk domestik mereka.
5.      Stabilnya iklim politik sangatlah penting ketika perbaikan dari reses ekonomi menjadi focus utama dimana selama masa the great depression, hampir seluruh kebijakan pemerintah dalam mengurai krisis ekonomi mendapat persetujuan dari kongres.

 
Daftar Pustaka
Collins, Robert M. (200). The Politics of Economic Growth, in Postwar America.,        Oxford: Oxford University Press.
Djohanputro, Bramantyo MBA, Phd. Prinsip-Prinsip Ekonomi Makro, (2005), Jakarta: Penerbit PPM.
Wikipedia, Political Economy,
http://en.wikipedia.org/wiki/Political_economy#History_of_the_term, di akses pada 22    Januari 2011, pukul 01.30.
Youtube,http://www.youtube.com/watch?v=gLKik7p58Ak&nofeather=True,      diakses pada 22 Januari, pukul 01.00 WIB.


Endnotes.
[1] Salah satu kutipan ucapan Benedict XVI ketika menerima duta besar Korea Selatan, Han Hong-Soon,  untuk Negara Vatikan, http://www.youtube.com/watch?v=gLKik7p58Ak&nofeather=True, diakses pada 22 Januari, pukul 01.00 WIB.

[2] Bramantyo Djohanputro, MBA, Phd., Prinsip-Prinsip Ekonomi Makro, (Jakarta: Cetakan 1, Penerbit PPM), 2005, hal. 11.

[3] Selain mendefinisikan terma ini dengan PDB baik yang nominal maupun riil, para ekonom menggunakannya untuk membedakan dengan istilah ekspansi ekonomi (economic expansion) yang berarti meningkatnya kapasitas yang ada, Sedangkan pertumbuhan melibatkan meningkatnya kapasitas produksi ekonomi itu sendiri. Secara umum pertumbuhan diartikan peningkatan dalam semua hal; aktifitas ekonomi, meningkatnya produksi dan meningkatnya konsumsi. Selain itu, definisinya berkonotasi dengan hal teknologi, industrialism, matelialisme dan konsumerisme. Robert M. Collins, The Politics of Economic Growth, in Postwar America, (Oxford University Press), 2000, hal. 1. Luasnya definisi inilah yang diindikasikan penyebab The great depression di Amerika berujung kebijakan the new deal of economic dan menjadi dasar terlibatnya Amerika di Perang dunia ke-2. Ibid, hal 9.

[4] Prinsip-Prinsip Ekonomi Makro, hal.13-14

[5] Ibid, hal 14,

[6] Ibid 17.

[7] Ibid hal, 17-18

[8] Ibid, 18.

[9] Robert M. Collins, The Politics of Economic Growth, in Postwar America, (Oxford University Press), 2000, hal. 19-20.

[10] Wikipedia, Political Economy, http://en.wikipedia.org/wiki/Political_economy#History_of_the_term, di akses pada 22 Januari 2011, pukul 01.30.

[11] Ibid.

[12] Ibid.

[13] The Politics of Economic Growth, in Postwar America, 2000, hal. 1-2.

[14]Ibid hal. 3.

[15]Ibid, 2-3.

[16] Ibid  hal 4.

[17] Ibid, hal. 8.

[18] Ibid. hal. 8-9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar